Abu Darda’
(Wafat 32 H)
Nama lengkapnya adalah Uwaimir bin Zaid bin Qais,
seorang sahabat perawi hadist dari Anshar, dari kabilah Khajraj, ia hapal
al-Quran dari Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. Dalam perang Uhud
Rasulullah bersabda mengenai dirinya “ Prajurit berkuda paling baik
adalah Uwaimir” Beliau ini dipersaudarakan oleh Rasulullah dengan Salman Al
Farisi. Dia mengikuti semua peperangan yang terjadi setelah perang Uhud.
Pada masa pemerintahan Khalifah Utsman, Abu Darda’
diangkat menjadi Hakim di daerah Syam, Ia adalah mufti (pemberi fatwa) penduduk
Syam dan ahli Fiqh penduduk Palestina.
Ia meriwayatkan hadits dari Sayyidah Aisyah dan Zaid
bin Tsabit, sedangkan yang meriwayatkan darinya ialah anaknya sendiri Bilal dan
istrinya Ummu Darda’. Hadits yang dia riwayatkan mencapai 179 hadits. Tentang dia Masruq
berkata:” Aku mendapatkan ilmu Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam
pada enam orang diantaranya dari Abu Darda“.
Uwaimir bin Malik al-Khazraji yang lebih dikenal dengan nama Abu Darda bangun dari tidurnya pagi-pagi sekali. Setelah itu, dia menuju berhala sembahannya di sebuah kamar yang paling istimewa di dalam rumahnya. Dia membungkuk memberi hormat kepada patung tersebut, kemudian diminyakinya dengan wangi-wangian termahal yang terdapat dalam tokonya yang besar, sesudah itu patung tersebut diberinya pakaian baru dari sutera yang megah, yang diperolehnya kemarin dari seorang pedagang yang datang dari Yaman dan sengaja mengunjunginya.
Setelah matahari agak tinggi, barulah Abu Darda masuk ke
rumah dan bersiap hendak pergi ke tokonya. Tiba-tiba jalan di Yastrib menjadi
ramai, penuh sesak dengan para pengikut Nabi Muhammad yang baru kembali dari
peperangan Badar. Di muka sekali terlihat sekumpulan tawanan terdiri dari
orang-orang Quraisy. Abu Darda mendekati keramaian dan bertemu dengan seorang
pemuda suku Khazraj. Abu Darda menanyakan kepadanya keberdaan Abdullah bin
Rawahah. Pemuda Khazraj tersebut menjawab dengan hati-hati pertanyaan Abu
Darda, karena dia tahu bagaimana hubungan Abu Darda dengan Abdullah bin
Rawahah. Mereka tadinya adalah dua orang teman akrab di masa jahily. Setelah
Islam datang, Abdullah bin Rawahah segera masuk Islam, sedangkan Abu Darda
tetap dalam kemusyrikan. Tetapi, hal itu tidak menyebabkan hubungan
persahabatan keduanya menjadi putus. Karena, Abdullah berjanji akan mengunjungi
Abu Darda sewaktu-waktu untuk mengajak dan menariknya ke dalam Islam. Dia
kasihan kepada Abu Darda, karena umurnya dihapiskan dalam kemusyrikan.
Abu Darda tiba di toko pada waktunya. Ia duduk bersila
di atas kursi, sibuk jual beli dan mengatur para pelayan. Sementara itu,
Abdullah bin Rawahah datang ke rumah Abu Darda. Sampai di sana dia melihat Ummu
Darda di halaman rumahnya.
“Assalamu’alaiki, ya amatallah,” (Semoga Anda
bahagia, hai hamba Allah) kata Abdullah memberi salam.
“Wa’alaikassalam, ya akha Abi Darda’” (Dan
semoga Anda bahagia pula, hai sahabat Abu Darda), jawab Ummu Darda.
“Ke mana Abu Darda?” tanya Abdullah.
“Dia ke toko, tetapi tidak lama lagi dia akan pulang,” jawab Ummu Darda.
“Bolehkah saya masuk?” tanya Abdullah.
“Dengan segala senang hati, silakan!” jawab Ummu Darda.
Ummu Darda melapangkan jalan bagi Abdullah, kemudian dia masuk ke dalam dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga serta mengasuh anak. Abdullah bin Rawahah masuk ke kamar tempat Abu Darda meletakkan patung sembahannya. Dikeluarkannya kapak yang sengaja dibawanya. Dihampirinya patung itu, lalu dikapaknya hingga berkeping-keping. Katanya, “Ketahuilah, setiap yang disembah selain Allah adalah batil!” Setelah selesai menghancurkan patung tersebut, dia pergi meninggalkan rumah.
“Dia ke toko, tetapi tidak lama lagi dia akan pulang,” jawab Ummu Darda.
“Bolehkah saya masuk?” tanya Abdullah.
“Dengan segala senang hati, silakan!” jawab Ummu Darda.
Ummu Darda melapangkan jalan bagi Abdullah, kemudian dia masuk ke dalam dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga serta mengasuh anak. Abdullah bin Rawahah masuk ke kamar tempat Abu Darda meletakkan patung sembahannya. Dikeluarkannya kapak yang sengaja dibawanya. Dihampirinya patung itu, lalu dikapaknya hingga berkeping-keping. Katanya, “Ketahuilah, setiap yang disembah selain Allah adalah batil!” Setelah selesai menghancurkan patung tersebut, dia pergi meninggalkan rumah.
Ummu Darda masuk ke kamar tempat patung berada.
Alangkah terperanjatnya dia, ketika dilihatnya petung telah hancur
berkeping-keping dan berserakan di lantai. Ummu Darda meratap menampar-nampar
kedua pipinya seraya berkata, “Engkau celakan saya, hai Ibnu Rawahah.”
Tidak berapa lama kemudian Abu Darda pulang dari toko. Ia mendapati istrinya
sedang duduk dekat pintu kamar patung sambil menangis. Rasa cemas dan takut
kelihatan jelas di wajahnya.
“Mengapa engkau menangis?” tanya Abu Darda.
“Teman Anda, Abdullah bin Rawahah tadi datang
kemari ketika Anda sedang di toko. Dia telah menghancurkan patung sembahan
Anda. Cobalah Anda saksikan sendiri,” jawab Ummu Darda.
Abu Darda menengok ke kamar patung, dilihatnya patung itu sudah berkeping-keping, maka timbullah marahnya. Mulanya dia bermaksud hendak mencari Abdullah. Tetapi, setelah kemarahannya berangsur padam, dia memikirkan kembali apa yang sudah terjadi. Kemudian katanya, “Seandainya patung itu benar Tuhan, tentu dia sanggup membela dirinya sendiri.”
Abu Darda menengok ke kamar patung, dilihatnya patung itu sudah berkeping-keping, maka timbullah marahnya. Mulanya dia bermaksud hendak mencari Abdullah. Tetapi, setelah kemarahannya berangsur padam, dia memikirkan kembali apa yang sudah terjadi. Kemudian katanya, “Seandainya patung itu benar Tuhan, tentu dia sanggup membela dirinya sendiri.”
Maka, ditinggalkannya patung yang menyesatkan itu,
lalu dia pergi mencari Abdullah bin Rawahah. Bersama-sama dengan Abdullah, dia
pergi kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. dan menyatakan masuk
agama Allah di hadapan beliau. Sejak detik pertama Abu Darda iman dengan Allah
dan Rasul-Nya, dia iman dengan sebenar-benar iman. Dia sangat menyesal agak
terlambat masuk Islam. Sementara itu, kawan-kawannya yang telah lebih dahulu
masuk Islam telah memperoleh pengertian yang mendalam tentang agama Allah ini,
hafal Alquran, senantiasa beribadat, dan takwa yang selalu mereka tanamkan
dalam dirinya di sisi Allah. Karena itu, dia bertekad hendak mengejar
ketinggalannya dengan sungguh-sunggu sekalipun dia berpayah-payah siang dan
malam, hingga tersusul orang-orang yang telah berangkat lebih dahulu. Dia
berpaling kepada ibadat dan memutuskan hubungannya dengan dunia; mencurahkan
perhatian kepada ilmu seperti orang kehausan, mempelajari Alquran dengan tekun
dan menghafal ayat-ayat, serta menggali pengertiannya sampai dalam. Tatkala
dirasakannya perdagangannya terganggu dan merintanginya untuk beribadat dan
menghadiri majlis-majlis ilmu, maka ditinggalkannya perusahaanya tanpa
ragu-ragu dan tanpa menyesal.
Berkenaan dengan sikapnya yang tegas itu, orang pernah
bertanya kepadanya. Maka, dijawabnya, “Sebelum masa Rasulullah, saya
menjadi seorang pedagang. Maka, setelah masuk Islam, saya ingin menggabungkan
berdagang untuk beribadat. Demi Allah, yang jiwa Abu Darda dalam kuasa-Nya,
saya akan menggaji penjaga pintu masjid supaya saya tidak luput salat
berjamaah, kemudian saya berjual beli dan berlaba setiap hari 300 dinar.”
Kemudian, saya menengok kepada si penanya dan berkata, “Saya tidak
mengatakan, Allah Ta’ala mengharamkan berniaga. Tetapi saya ingin menjadi
pedagang, bila perdagangan dan jual beli tidak menganggu saya untuk dzikrullah
(berzikir).”
Abu Darda tidak meninggalkan perdagangan sama sekali.
Dia hanya sekadar meninggalkan dunia dengan segala perhiasan dan kemegahannya.
Baginya sudah cukup sesuap nasi sekadar untuk menguatkan badan, dan sehelai
pakaian kasar untuk menutupi tubuh.
Pada suatu malam yang sangat dingin, suatu jamaah
bermalam di rumahnya. Abu Darda menyuguhi mereka makanan hangat, tetapi tidak
memberinya selimut. Ketika hendak tidur, mereka mempertanyakan selimut. Seorang
di antaranya berkata, “Biarlah saya tanyakan kepada Abu Darda.” Kata
yang lain, “Tidak perlu!” Tetapi, orang yang seorang itu menolak saran
orang yang tidak setuju. Dia terus pergi ke kamar Abu Darda. Sampai di muka
pintu dilihatnya Abu Darda berbaring, dan istrinya duduk di sampingnya. Mereka
berdua hanya memakai pakaian tipis yang tidak mungkin melindungi mereka dari
kedinginan. Orang itu bertanya kepada Abu Darda, “Saya melihat Anda sama
dengan kami, tengah malam sedingin ini tanpa selimut. Ke mana saja kekayaan dan
harta benda Anda?”
Jawab Abu Darda, “Kami mempunyai rumah di kampung
sana. Harta benda kami langsung kami kirimkan ke sana setiap kami peroleh.
Seandainya masih ada yang tinggal di sini (berupa selimut), tentu sudah kami
berikan kepada tuan-tuan. Di samping itu, jalan ke rumah kami yang baru itu
sulit dan mendaki. Karena itu, membawa barang seringan mungkin lebih baik
daripada membawa barang yang berat-berat. Kami memang sengaja meringankan beban
kami supaya mudah dibawa”. Kemudian Abu Darda bertanya kepada orang
itu, “Pahamkah Anda?”
Jawab orang itu, “Ya, saya mengerti.”
Jawab orang itu, “Ya, saya mengerti.”
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Umar
mengangkat Abu Darda menjadi pejabat tinggi di Syam. Tetapi, Abu Darda menolak
pengangkatan tersebut. Khalifah Umar marah kepadanya. Lalu kata Abu Darda, “Bilamana
Anda menghendaki saya pergi ke Syam, saya mau pergi untuk mengajarkan Alquran
dan sunah Rasulullah kepada mereka serta menegakkan salat bersama-sama dengan
mereka.” Khalifah Umar menyukai rencana Abu Darda tersebut. Lalu, Abu Darda
berangkat ke Damsyiq. Sampai di sana didapatinya masyarakat telah mabuk
kemewahan dan tenggelam dalam kenikmatan dunia. Hal itu sangat menyedihkannya.
Maka, dipanggilnya orang banyak ke masjid, lalu dia berpidato di hadapan
mereka.
Katanya, “Wahai penduduk Damsyiq! Kalian adalah
saudaraku seagama, tetangga senegeri, dan pembela dalam melawan musuh bersama.
Wahai penduduk Damsyiq! Saya heran, apakah yang menyebabkan kalian tidak
menyenangi saya? Padahal, saya tidak mengharapkan balas jasa dari kalian.
Nasihatku berguna untuk kalian, sedangkan belanjaku bukan dari kalian. Saya
tidak suka melihat ulama-ulama pergi meninggalkan kalian, sementara orang-orang
bodoh tetap saja bodoh. Saya hanya mengharapkan kalian supaya melaksanakan
segala perintah Allah Taala, dan menghentikan segala larangan-Nya. Saya tidak
suka melihat kalian mengumpulkan harta kekayaan banyak-banyak, tetapi tidak
kalian pergunakan untuk kebaikan. Kalian membangun gedung-gedung yang mewah,
tetapi tidak kalian tempati atau kalian mencita-citakan sesuatu yang tak
mungkin tercapai oleh kalian. Bangsa-bangsa sebelum kamu pernah mengumpulkan
harta sebanyak-banyaknya dan bercita-cita setinggi-tingginya. Tetapi hanya
sebntar, harta yang mereka tumpuk habis kikis, cita-cita mereka hancur
berantakan, dan bangunan-bangunan mewah yang mereka bangun rubuh menjadi
kuburan. Hai penduduk Damsyiq! Inilah bangsa ‘Ad (kaum Nabi Hud As.)yang telah
memenuhi negeri (antara Aden dan Oman) dengan harta kekayaan dan anak-anak. Siapakah
di antara kalian yang berani membeli dariku peninggalan kaum ‘Ad itu dengan
harga dua dirham?”
Mendengar pidato Abu Darda tersebut orang banyak menangis, sehingga isak tangis mereka terdengar dari luar masjid. Sejak hari itu Abu Darda senantiasa mengunjungi majelis-majelis masyarakat Damsyiq dan pergi ke pasar-pasar. Jika ada yang bertanya kepadanya, dijawabnya. Jika dia bertemu dengan orang bodoh, diajarinya; dan jika dia melihat orang terlalai, diingatkannya. Direbutnya setiap kesempatan yang baik sesuai dengan situasi dan kondisi serta kemampuan yang ada padanya.
Mendengar pidato Abu Darda tersebut orang banyak menangis, sehingga isak tangis mereka terdengar dari luar masjid. Sejak hari itu Abu Darda senantiasa mengunjungi majelis-majelis masyarakat Damsyiq dan pergi ke pasar-pasar. Jika ada yang bertanya kepadanya, dijawabnya. Jika dia bertemu dengan orang bodoh, diajarinya; dan jika dia melihat orang terlalai, diingatkannya. Direbutnya setiap kesempatan yang baik sesuai dengan situasi dan kondisi serta kemampuan yang ada padanya.
Pada suatu ketika dia melihat sekelompok orang
mengeroyok seorang laki-laki. Laki-laki itu babak belur dipukuli dan
dicaci-maki mereka. Abu Darda datang menghampiri, lalu bertanya, “Apa yang
telah terjadi?”
Jawab mereka, “Orang ini jatuh ke dalam dosa besar.”
Kata Abu Darda, “Seandainya dia jatuh ke dalam
sumur, tidakkah kalian keluarkan dia dari sumur itu?”
Jawab mereka, “Tentu!”
Kata Abu Darda, “Karena itu, janganlah kalian caci
maki dia, dan jangan pula kalian pukuli. Tetapi, berilah dia pengajaran dan
sadarkan dia. Bersyukurlah kalian kepada Allah yang senantiasa memaafkan kalian
dari dosanya.”
Tanya mereka, “Apakah Anda tidak membencinya?”
Jawab Abu Darda, “Sesungguhnya saya membenci perbuatannya. Apabila dia telah menghentikan perbuatannya yang berdosa itu, dia adalah saudara saya.” Orang itu menangis dan tobat dari kesalahannya.
Jawab Abu Darda, “Sesungguhnya saya membenci perbuatannya. Apabila dia telah menghentikan perbuatannya yang berdosa itu, dia adalah saudara saya.” Orang itu menangis dan tobat dari kesalahannya.
Kali yang lain seorang pemuda mendatangi Abu Darda dan
berkata kepadanya, “Wahai sahabat Rasulullah! Ajarilah saya!”
Jawab Abu Darda, “Hai anakku! Ingatlah kepada Allah
di waktu kamu bahagia. Maka Allah akan mengingatmu di waktu kamu sengsara. Hai
anakku! Jadilah kamu pengajar atau menjadi pelajar atau menjadi pendengar. Dan,
janganlah sekali-kali menjadi yang keempat (yaitu orang bodoh), karena yang
keempat pasti celaka. Hai anakku! Jadikanlah masjid menjadi tempat tinggalmu,
karena aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
“Setiap masjid adalah tempat tinggal orang yang bertakwa. Allah Subhanahu wa
ta’ala menjanjikan bagi orang yang menjadikan masjid sebagai tempat tinggalnya,
kesenangan, kelapangan rahmat, dan lewat di jalan yang diridai Allah Taala.”
Abu Darda pernah pula melihat sekelompok pemuda
duduk-duduk di pinggir jalan. Mereka ngobrol sambil melihat orang-orang yang
lalu lintas. Abu Darda mengahmpiri mereka dan berkata kepadanya, “Hai
anak-anakku! Tempat yang paling baik bagi orang muslim adalah rumahnya. Di sana
dia dapat memelihara diri dan pandangannya. Jauhilah duduk-duduk di pinggir
jalan dan di pasar-pasar, karena hal itu menghabiskan waktu dengan percuma.”
Ketika Abu Darda tinggal di Damsyiq, Gubernur Muawiyah bin Abu Sufyan melamar anak gadis Abu Darda, yaitu Darda, untuk putranya, Yazid. Abu Darda menolak lamaran Muawiyah tersebut. Dia tidak mau mengawinkan anak gadisnya, Darda, dengan Yazid (putra Gubernur). Bahkan, Darda dikawinkannya dengan pemuda muslim, anak orang kebanyakan. Abu Darda menyukai agama dan akhlak pemuda itu. Orang banyak heran dengan sikap Abu Darda, dan berbisik-bisik sesama mereka, “Anak gadis Abu Darda dilamar oleh Yazid bin Muawiyah, tetapi lamarannya ditolak. Kemudian Abu Darda mengawinkan putrinya dengan seorang pemuda muslim anak orang kebanyakan.”
Ketika Abu Darda tinggal di Damsyiq, Gubernur Muawiyah bin Abu Sufyan melamar anak gadis Abu Darda, yaitu Darda, untuk putranya, Yazid. Abu Darda menolak lamaran Muawiyah tersebut. Dia tidak mau mengawinkan anak gadisnya, Darda, dengan Yazid (putra Gubernur). Bahkan, Darda dikawinkannya dengan pemuda muslim, anak orang kebanyakan. Abu Darda menyukai agama dan akhlak pemuda itu. Orang banyak heran dengan sikap Abu Darda, dan berbisik-bisik sesama mereka, “Anak gadis Abu Darda dilamar oleh Yazid bin Muawiyah, tetapi lamarannya ditolak. Kemudian Abu Darda mengawinkan putrinya dengan seorang pemuda muslim anak orang kebanyakan.”
Seorang penanya bertanya kepada Abu Darda, ”Mengapa
Anda bertindak seperti itu.”
Jawab Abu Darda, “Saya bebas berbuat sesuatu untuk kemaslahatan Darda.”
Tanya, “Mengapa?”
Jawab Abu Darda, “Saya bebas berbuat sesuatu untuk kemaslahatan Darda.”
Tanya, “Mengapa?”
Jawab Abu Darda, “Bagaimana pendapat Anda, apabila
nanti Darda telah berada di tengah-tengah inang pengasuh yang senantiasa siap
sedia melayaninya, sedangkan dia berada dalam istana yang gemerlapan
menyilaukan mata, akan kemana jadinya agama Darda ketika itu?”
Pada suatu waktu ketika Abu Darda berada di negeri
Syam, Amirul Mukminin Umar bin Khattab datang memeriksa. Khalifah mengunjungi
sahabat itu di rumahnya malam hari. Ketika Khalifah membuka pintu rumah Abu
Darda, ternyata pintu itu tidak dikunci dan rumah gelap tanpa lampu. Ketika Abu
Darda mendengar suara Khalifah, Abu Darda berdiri mengucapkan selamat datang
dan menyilakan Khalifah Umar untuk duduk. Keduanya segera terlibat dalam
pembicaraan-pembicaraan penting, padahal kegelapan menyelubungi keduanya,
sehingga masing-masing tidak melihat kawannya berbicara. Khalifah Umar
meraba-raba bantal alas duduk Abu Darda, kiranya sebuah pelana kuda. Dirabanya
pula kasur tempat tidur Abu Darda, kiranya berisi pasir belaka. Dirabanya pula
selimut, kiranya pakaian-pakaian tipis yang tidak mencukupi untuk musim dingin.
Kata Khalifah Umar, “Semoga Allah melimpahkan
rahmat-Nya kepada Anda. Maukan Anda saya bantu? Maukah Anda saya kirimi sesuatu
untuk melapangkan kehidupan Anda?”
Jawab Abu Darda, “Ingatkah Anda hai Umar sebuah hadis yang disampaikan Rasulullah kepada kita?”
Jawab Abu Darda, “Ingatkah Anda hai Umar sebuah hadis yang disampaikan Rasulullah kepada kita?”
Tanya Umar, “Hadis apa gerangan?”
Jawab Abu Darda, “Bukankah Rasulullah telah bersabda, “Hendaklah puncak salah seorang kamu tentang dunia seperti perbekalan seorang pengendara (yaitu secukupnya dan seadanya).”
Jawab Khalifah Umar, “Ya, saya ingat!” Kata Abu Darda, “Nah, apa yang telah kita perbuat sepeninggal beliau, hai Umar?”
Jawab Abu Darda, “Bukankah Rasulullah telah bersabda, “Hendaklah puncak salah seorang kamu tentang dunia seperti perbekalan seorang pengendara (yaitu secukupnya dan seadanya).”
Jawab Khalifah Umar, “Ya, saya ingat!” Kata Abu Darda, “Nah, apa yang telah kita perbuat sepeninggal beliau, hai Umar?”
Khalifah Umar menangis, Abu Darda pun menangis pula.
Akhirnya, mereka berdua bertangis-tangisan sampai waktu subuh.
Abu Darda menjadi guru selama tinggal di Damsyiq. Dia
memberi pengajaran kepada penduduk, memperingatkan mereka, mengajarkan kitab
(Alquran) dan hikmah kepada mereka sampai dia meninggal.
Tatkala Abu Darda hampir meninggal, para sahabatnya
datang berkunjung.
Mereka bertanya, “Sakit apa yang Anda rasakan?”
Jawab Abu Darda, “Dosa-dosaku!”
Tanya, “Apa yang Anda inginkan?”
Jawab, “Ampunan Tuhanku.”
Kemudian dia berkata kepada orang-orang yang hadir di sekitarnya, “Ulangkanlah kepadaku kalimah, Laa ilaaha illallah, Muhammad Rasulullah.”
Mereka bertanya, “Sakit apa yang Anda rasakan?”
Jawab Abu Darda, “Dosa-dosaku!”
Tanya, “Apa yang Anda inginkan?”
Jawab, “Ampunan Tuhanku.”
Kemudian dia berkata kepada orang-orang yang hadir di sekitarnya, “Ulangkanlah kepadaku kalimah, Laa ilaaha illallah, Muhammad Rasulullah.”
Abu Darda senantiasa membaca kalimah tersebut
berulang-ulang hingga nafasnya yang terakhir. Setelah Abu Darda pergi menemui
Tuhannya, Auf bin Malik al-Asyja’iy bermimpi. Dia melihat dalam mimpinya sebuah
padang rumput yang luas menghijau. Maka, mengambanglah bau harum semerbak dan
muncul suatu bayangan berupa sebuah kubah besar dari kulit. Sekitar kubah berbaring
hewan ternak yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Dia bertanya, “Milik siapa ini?”
Dia bertanya, “Milik siapa ini?”
Jawab, “Milik Abdur Rahman bin Auf.”
Abdur Rahman muncul dari dalam kubah. Dia berkata
kepada Auf bin Malik, “Hai, Ibnu Malik! Inilah karunia Allah kepada kita berkat
Alquran. Seandainya engkau mengawasi jalan ini, engkau akan melihat suatu
pemandangan yang belum pernah engkau saksikan, dan mendengar sesuatu yang belum
pernah engkau dengar, dan tidak pernah terlintas dalam pikiranmu.”
Tanya Auf bin Malik, “Untuk siapa semuanya, hai Abu
Muhammad?”
Jawab, “Disediakan Allah Taala untuk Abu Darda, karena dia telah menolak dunia dengan mudah dan lapang dada.”
Jawab, “Disediakan Allah Taala untuk Abu Darda, karena dia telah menolak dunia dengan mudah dan lapang dada.”
Ia wafat pada tahun 32 H di dasmaskus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar